Pendahuluan
Investasi di sektor pariwisata, khususnya pembangunan hotel dan resort di kawasan pesisir, mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia. Namun, banyak dari properti ini dibangun di wilayah sempadan pantai—zona yang menurut hukum tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan komersial. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: Bagaimana pelaku usaha dapat beroperasi di wilayah yang secara hukum termasuk kawasan terlarang? Apakah terdapat celah hukum, atau justru terjadi pelanggaran sistemik?
Garis Sempadan Pantai dan Implikasinya bagi Dunia Usaha
Menurut UU Tata Ruang (UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 6 Tahun 2023), sempadan pantai adalah kawasan lindung sepanjang 100 meter dari titik pasang tertinggi. Secara prinsip, ketentuan ini mengartikan tidak boleh ada kegiatan komersial apa pun dalam radius tersebut, kecuali kegiatan yang menunjang fungsi konservasi atau kegiatan bersyarat dengan izin khusus.
Bagi pelaku usaha hotel dan resort, hal ini menghadirkan dilema, baik secara hukum maupun bisnis. Pertama, tidak adanya peraturan daerah setempat yang mengatur, atau keputusan kepala daerah setempat yang menetapkan radius sempadan pantai pada wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan kesimpangsiuran pemberian izin pemindahan hak atas tanah atau perizinan mendirikan bangunan pada lokasi tersebut, yang di kemudian hari ternyata masih dalam radius sempadan pantai. Kedua, adanya risiko cacat administrasi atas sertipikat tanah yang mencakup sempadan pantai. Selain itu, pelaku usaha juga dapat terkena pelanggaran tata ruang dengan dalih privatisasi pantai. Ketiga, dari segi citra usaha, pelanggaran sempadan ruang dapat mengakibatkan buruknya reputasi perusahaan, terutama bagi operator internasional yang harus mematuhi standar global. Dalam era investasi berkelanjutan, bisnis properti wisata juga dinilai dari kepatuhan terhadap prinsip environmental, social, governance (ESG).
Studi Kasus: Bali dan Labuan Bajo
Di Bali, sejumlah hotel mewah di kawasan Seminyak, Canggu, hingga Uluwatu berada sangat dekat dengan bibir pantai. Demikian juga di Labuan Bajo, hotel dan resort eksklusif sering berada dalam jarak < 100 meter dari pantai. Di beberapa kasus, pembangunan ini dipersoalkan oleh Lembaga swadaya lingkungan, dan bahkan menjadi objek gugatan. Namun, penyelesaiannya sering politis dan tidak menjadi preseden hukum yang kuat. Padahal, pemerintah daerah sendiri belum memiliki serangkaian aturan yang tegas mengenai radius sempadan pantai mereka sendiri.
Solusi
Ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum di zona sempadan pantai menjadi tantangan yang cukup memusingkan bagi pelaku usaha hotel dan resort. Solusi dari permasalahan ini adalah perlunya penegasan yang jelas dari pemerintah daerah mengenai radius sempadan pantai. Sehingga, pelaku usaha dapat menjalankan investasinya dengan tetap mematuhi regulasi yang berlaku, termasuk menghindari permasalahan administratif ke depannya.